The Bitches II
Dari bagian 1
Aku mulai dapat merasa akan timbulnya "pipis enak". Dari dalam
vaginaku, keinginan kencing ini mendesak-desak keluar. Kutarik kepala
Surti yang masih terus menggeluti bibirku. Kudorongnya ke bawah, ke
memekku. Aku ingin agar Surti memainkan jari-jarinya dalam kemaluanku
di barengi dengan ciuman dan jilatannya pada bibir vaginaku. Surti
cepat memahami. Tanpa melepaskan jari-jarinya dari lubang vaginaku,
Surti melepas bibirnya dari bibirku untuk kemudian meluncur ke dada,
perut, ke pusar ke jembut dan akhirnya menuju vaginaku.
Dengan meluruskan badannya agar berada di antara pahaku, dan dengan
jari-jarinya yang terus menari-nari merangsang G spot-ku, Surti
mendaratkan bibirnya ke vaginaku. Dia menciumi, menyedot dan
menjilat-jilat bagian atas vaginaku.
Rasa ingin kencingku akhirnya meledak. Aku mendapatkan orgasme
dari perilaku Surti yang sangat obsessive dan liar itu. Banyak sekali
cairan birahi yang tumpah dari dalam vaginaku dan mengalir keluar.
Untuk melampiaskan emosi birahiku, kutangkap kepala Surti,
kuremas-remas rambutnya hingga dandanan rambutnya berantakan. Surti
menjadi semakin liar saat menyedot cairan birahiku. Kepalanya
digeleng-gelengkan dan ditekan-tekannya ke selangkanganku. Sedemikian
bernafsunya bibirnya menyambut cairan kemaluanku. Seperti orang makan
buah semangka yang merah ranum hingga kudengar mulut Surti mengeluarkan
bunyi. Mulutnya yang indah menjilati dan meminum semua cairan birahiku
yang meleleh keluar. Agar dapat lebih banyak menyedot cairan lendir
itu, lidahnya menyeruak mengorek seluruh isi liang vaginaku.
Setelah orgasme, aku merasa lemas sekali. Seakan otot-ototku
dilolosi dari tubuhku. Aku lunglai. Sebaliknya dengan Surti, yang
dengan meminum semua cairan birahi dari lubang vaginaku, nafsunya
bahkan semakin memuncak. Dia membiarkanku lunglai di ranjang, tetapi
dia sendiri tidak menghentikan serangan nafsunya pada tubuhku. Ciuman
dan lidahnya merambati seluruh permukaan pahaku. Dia tinggalkan
cupang-cupang sedotannya pada pahaku. Sedotan-sedotannya terasa pedih
pada kulitku, hingga terkadang kuangkat kepalanya dan menariknya untuk
melepaskan bibirnya yang terasa seperti vacuum cleaner yang menancap di
pahaku. Kemudian tanpa ayal dibalikkannya tubuhku agar tengkurap.
Dia benamkan mukanya ke celah bokongku. Dia cium habis-habisan
bokongku. Dia masukkan lidahnya ke celah belahan pantatku. Dia berusaha
menjilati duburku hingga aku sangat kegelian. Rasa lunglaiku jadi
hilang. Birahiku pelan-pelan kembali timbul. Dia angkat pantatku hingga
aku tertungging. Dengan posisi itu, di hadapan Surti kini telah
terpampang pantatku dengan analnya yang menguak terbuka. Kubayangkan
lubang pantatku yang kuncup dilingkari garis-garis lembut kemerahan
menuju titik pusat lubang duburku. Tak ayal lagi hidung, bibir dan
lidah Surti langsung merangsek pantatku untuk meraih kenikmatan. Aku
bergetar dan merinding. Nafsu Surti menjadi sangat binal. Dia mendesah
dan mendengus-dengus seperti anjing yang rakus saat menghadapi
makanannya hingga tidak mau ada anjing lain yang mendekat karena
khawatir akan merebut makanannya itu.
Sementara itu aku mulai kembali terbakar birahi. Lidah Surti yang
terus menjilat duburku dan menusuk lubangnya membuatku diserang
kegatalan erotis yang amat sangat di seluruh tubuhku. Surti sangat
pintar mendongkrak libidoku.
Dengan menggerakkan tanganku ke belakang, aku berusaha meraih
kepalanya. Saat akhirnya kudapat, kuremas kembali rambutnya yang memang
sudah teracak-acak olehku sejak tadi. Kutekankan wajahnya ke analku.
Aku ingin agar Surti lebih dalam lagi melahap duburku. Rupanya saat ini
dia sedang menapaki puncak birahinya, racauan mulutnya tak henti-henti.
"Oohh.., oh, ohh, enakk.., enhakk.., Mbak Marinii..".
Kulihat, entah dari mana, tangan kirinya telah menggenggam plastik
bening panjang, semacam pipa padat. Itu adalah dildo. Dia tusukkan
dildo itu pada lubang vaginanya. Dia mencium dan menjilat analku sambil
membayangkan kontol lelaki yang menusuk memeknya. Nampak tangannya
mengocok-ngocokkan dildo yang besar dan panjang itu ke vaginanya
sendiri. Rintihan dan desahan erotis yang menandakan derita dan siksa
nikmat sedang melanda sanubari Surti. Aku tidak bisa berbuat banyak
untuk membantunya, kecuali dengan ikut mengerang dengan suaraku yang
histeris.
"Teruss Surtii.., teruuss.., Surtikuu".
Saat puncak itu datang, Surti menjepitkan dildonya di antara kedua
kakinya yang dirapatkan. Kemudian seakan sedang menyetubuhi kontol
lelaki yang telentang di ranjang, dia naik turunkan pantatnya untuk
membenamkan dildo ke memeknya. Sementara itu tangannya merengkuh
erat-erat pinggangku untuk memantapkan posisi wajahnya hingga bibir dan
lidahnya terus menciumi dan menjilati duburku. Dia meremas dan
menancapkan kuku-kukunya ke bukit pinggulku ketika orgasmenya datang.
Dia menjerit dengan keras. Tanganku memperkeras jambakan pada rambutnya
untuk membantu mendorong birahinya ke puncak yang paling tinggi.
Kemudian Surti rubuh, demikian juga denganku. Aku telentang menghela
nafas. Untuk beberapa menit kami saling diam. Sunyi.
"Terima kasih Mbak Marini. Mbak cantiik sekali".
Masih dalam keadaan telentang, Surti mengeluarkan suara sambil
melepas senyumnya dan menengok ke arahku. Aku sambut dengan tanganku
yang meraih tangannya. Kami saling bersentuhan dan saling meremas.
"Aku lapar, Mbak", kata Surti.
Aku berusaha bangun. Aku sendiri juga lapar dan haus. Kami
bersama-sama bangkit dari ranjangku. Dengan kain dan handuk seadanya
yang kusambar dari kamarku untuk menutupi tubuh kami, kami menuju dapur
dan membuka lemari es.
Kuambil juice orange dingin. Kutuangkan segelas untuk Surti dan
segelas untukku sendiri. Kami beristirahat dan minum. Surti lalu
mengeluarkan bungkusan dari kantong plastik Carrefour yang dibawanya.
Ada kue kering yang siap saji. Dia buka dan kami melahapnya.
Pada kesempatan itu kamu kembali saling pandang dan saling melempar
senyum. Kulihat Surti mengamati bagian-bagian tubuhku. Dan aku juga
mengamati bagian-bagian tubuhnya. Kami saling mengagumi. Kami saling
meraba bagian-bagian tubuh pasangan kami dengan penuh semangat birahi.
Aku sangat mengagumi pahanya yang sangat sintal itu. Sebelum bergerak
terlalu jauh dan menyadari bahwa badan kami harus tetap tampil segar,
kami sepakat untuk makan dulu. Kami beranjak melihat bahan makanan yang
tersedia. Melihat oleh-oleh Surti, kami sepakat untuk membuat sirloin
steak kesukaanku. Kunyalakan kompor untuk menumis bumbu dan sayuran
pelengkapnya. Surti merendamnya dalam saus daging steak kemudian
membakarnya. Dengan 2 gelas red wine, 2 gelas juice apple yang
kutemukan masih tersedia di lemari es, kami melahap sirloin steak 200
gram kami hingga kenyang. Sebagai penutup kusediakan irisan buah mangga
dingin seporsi besar. Kami tertawa, mengingat betapa rakusnya kami di
ranjang maupun di meja makan. Surti mengatakan kalau dirinya makan
banyak masih masuk akal. Tetapi kalau dia melihatku juga makan sebanyak
yang dia makan, dia merasa heran, kemana saja makanan yang telah
kutelan hingga perutku tetap langsing?
"Atau di sini, ya?", kelakarnya sampil tangannya meraup nonokku yang memang montok menggembung.
Aku tertawa. Kami saling berseloroh. Usai makan dan puas
berseloroh, Surti berdiri dari kursinya menuju ke belakang kursiku dan
kurasakan saat hidungnya mencium kepalaku.
"Sayang, aku ingin lagi, sayang..", sambil tangannya turun ke dadaku meremas payudaraku dan terus memilin-milin puting-putingku.
Aku melenguh pelan. Aku mendongakkan wajahku ke belakang hingga
menghadap wajahnya. Wajahnya langsung menjemput wajahku hingga bibirku
bertemu bibirnya. Kami saling mencium. Tangan kanannya turun ke
selangkanganku untuk meremas nonokku yang menggunung itu, sementara
tangan kirinya tetap meremas payudaraku. Aku menggelinjang kembali.
Birahiku terbit kembali. Ciuman Surti yang semakin penuh perasaan dan
mendalam semakin mendongkrak libidoku. Suara desahan kami saling
bersahutan.
Kini aku ingin mengekspresikan diriku. Aku ingin mengekspresikan
obsesiku. Aku ingin meraih sendiri kenikmatan madunya Surti. Aku ingin
menciumi buah dadanya yang nampak sangat ranum di balik blusnya itu.
Aku juga ingin menciumi ketiak, perut, pahanya yang sangat sintal,
selangkangan, celana, kelentit maupun vaginanya. Aku jadi terbakar. Aku
berdiri dari kursiku. Kembali kubimbing Surti ke peraduanku. Aku tak
tahan lagi menahan gejolak libidoku sendiri. Aku ingin menumpahkan
seluruh obsesiku.
Kodorong dia agar telentang di tempat tidur. Dia langsung memahami
keinginanku. Dia menunggu. Tanganku menarik lembaran handuk yang
membungkus tubuhnya. Tubuh jangkung indah itu kini telanjang bulat di
hadapanku. Aku meneguk air liurku. Aku merangkaki tubuhnya. Kulumat
bibirnya sepenuh perasaan. Kunyanyikan "gita cinta" dari gebu birahiku.
Kutenggelamkan wajahku ke buah dadanya yang besar. Lidah dan bibirku
dengan liar mengecup dan menjilat bukit-bukit sensual milik Surti itu.
Kuhisap-hisap puting payudaranya. Dia kini mendesah dan menjerit kecil.
Dia angkat kedua tangannya ke atas hingga nampak ketiaknya yang
terbuka. Dia menginginkanku agar menjilati ketiaknya. Aku menyambutnya
dengan sepenuh geloraku. Kubenamkan wajahku ke lembah ketiaknya. Bau
kecut alami ketiaknya seketika menyergap hidungku.
Surti mengeluarkan desah dan rintih yang sangat mengundang birahi.
Kemudian aku mulai merayap ke bawah. Kujilat perutnya yang langsing.
Pusarnya kuhisap-hisap. Ludahku kuyup menutupi dataran perutnya yang
lembut itu. Aku turun lagi hingga kurasakan jembut halusnya pada
lidahku. Aku turun lagi kemudian bangkit. Aku ingin memulainya dari
yang paling bawah. Aku turun ke lantai. Kuraih kakinya. Inilah
kesukaanku. Kujilati kaki-kakinya, jari kakinya, telapak kakinya.
Kemudian aku merayap naik menjilati betisnya. Kusedot pori-porinya.
Kubuat agar kuyup dengan ludahku.
Aku terus naik ke pahanya. Aku serasa menghadapi lapangan luas
untuk bibir dan lidahku bermain. Paha si jangkung yang sangat sintal
kini terpampang bebas di hadapanku. Aku merebahkan diri di situ. Aku
mulai mencium dan menjilatinya. Aku tak ingin satu titikpun terlewat
dari kecupan dan jilatanku. Aku bergetar dan menggigil. Aku menikmati
lembah birahi yang sangat kudambakan. Saat wajahku sampai di
selangkangannya, aroma dan semerbak wangi vaginanya demikian menusuk
hidungku. Aku terus menjilat dan mengendusnya.
Kini kutemukan kemaluannya yang menggelembung indah di antara
selangkangannya. Bibirku langsung merasakan demikian getas kemaluannya.
Bibir-bibirnya merekah keras menahan darah yang mengalir di sana.
Kelentit atau itilnya juga mengeras. Itilnya yang besar dan kencang itu
kukulum. Lidahku menembus lubang vaginanya. Kembali Surti mendesah dan
merintih dengan sangat menggairahkan. Dia menggelinjang. Tubuhnya
menggeliat kuat-kuat hingga aku sering terlempar. Pantatnya terangkat
menjemput lidahku agar menjilat lebih dalam lagi ke nonoknya. Tangannya
meremasi bantal.
"Ampun Mbak Mar.., ampun Mbak Mar..", hanya itu yang dia racaukan berulang-ulang.
Ke bagian 3
----
« Hot Zone
« Back
« Home
« New & Fresh
2490